Upaya Hukum Praperadilan
Tulisan ini akan membahas perihal: apakah ada upaya hukum terhadap putusan praperadilan? Jawaban singkatnya adalah “tidak ada”, tetapi bila jawaban tersebut memadai tentu tulisan ini tidak akan dibuat. Berikut pembahasannya.
Upaya Hukum
Banding
Pasal 83 ayat (1) KUHAP[1] menyebutkan pada pokoknya
bahwa putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80, dan Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding.
- Pasal 79 adalah permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya).
- Pasal 80 adalah mengenai permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (yang diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan - lihat putusan MK No. 98/PUU-X 2012 mengenai perluasan makna pihak ketiga yang berkepentingan).
- Pasal 81 adalah permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan).
Pasal 83 ayat (2) KUHAP[2] menyebutkan pada pokoknya
bahwa putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam
daerah hukum yang bersangkutan.
Bahwa Pasal 83 KUHAP tersebut mengatur perihal upaya hukum
berdasarkan siapa yang mengajukan pemeriksaan praperadilan. Upaya hukum sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut ternyata telah diajukan uji
materi ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi bahwa
pasal tersebut bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[3]
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “... Pasal 83 ayat
(2) KUHAP tersebut menurut Mahkamah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara
di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang
adil. Dengan kata lain, Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut memperlakukan secara
berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut
umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan
praperadilan. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya
lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia”.[4]
Pasal 83 KUHAP tersebut juga belum mengatur perihal upaya
hukum apa yang dapat diajukan terhadap perluasan objek praperadilan dalam Pasal
77 KUHAP sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014[5], sehingga terhadap perluasan
objek praperadilan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
Dengan demikian, terhadap putusan praperadilan tidak dapat
diajukan upaya hukum banding.
Upaya Hukum Kasasi
Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
menyebutkan “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang
memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang
ini dibatasi pengajuannya” selanjutnya ayat (2) menyebutkan “Perkara
yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. putusan
tentang praperadilan; ...”.[6]
Dari aturan tersebut dapat dilihat bahwa terhadap putusan praperadilan tidak
dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal tersebut dipertegas
oleh Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012
tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada hasil rumusan rapat kamar pidana bagian
Tindak Pidana Umum angka 5 yang menyebutkan “berdasarkan ketentuan Pasal 45
A UU No. 5 Tahun 2004, bahwa terhadap perkara-perkara Praperadilan tidak dapat diajukan
kasasi apalagi Peninjauan Kembali”.[7]
Dengan demikian, terhadap putusan praperadilan tidak dapat
diajukan upaya hukum kasasi.
Upaya Hukum Peninjauan
Kembali
Bahwa sebagaimana pembahasan di atas, dalam SEMA No. 7/2012
telah diatur bahwa perkara praperadilan tidak dapat diajukan kasasi apalagi
peninjauan kembali. Tetapi dalam perkembangannya, Mahkamah Agung telah
mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan pada Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Pidana-Cakra angka 1
menyebutkan bahwa “Peninjauan Kembali Terhadap Praperadilan tidak
diperbolehkan kecuali dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum”.[8]
Bahwa dalam konsiderans Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, Mahkamah
Agung menyatakan bahwa terdapat penafsiran yang berbeda-beda mengenai
pengertian penyelundupan hukum. Hal penting berkaitan dengan upaya hukum
putusan praperadilan diatur dalam Pasal 3 PERMA tersebut yang menyebutkan pada
pokoknya bahwa “Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali”
serta bahwa tidak dapat diterimanya upaya hukum tersebut adalah melalui penetapan
Ketua Pengadilan Negeri yang tidak dapat diajukan upaya hukum. PERMA tersebut juga
mencabut SEMA No. 4 Tahun 2014 khusus mengenai upaya hukum peninjauan kembali putusan
praperadilan dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum.[9]
Dengan demikian, terhadap putusan praperadilan tidak dapat
diajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Kesimpulan
Dengan pembahasan-pembahasan tersebut, maka kesimpulannya
adalah terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.
[2] Ibid
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 hlm. 31
[4] Ibid hlm. 29-30
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 hlm. 110
[6] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
[7] Surat Edaran MahkamahAgung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno KamarMahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
[8] Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah AgungTahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
Komentar
Posting Komentar