Apakah Perubahan Pendapat Hukum Terlarang? Pelajaran dari Pergeseran Pemikiran Hukum Hans Kelsen dan Gustav Radbruch Pasca Perang Jerman

Pasca keruntuhan Nazi Jerman, pemikiran hukum kembali diperbincangkan dengan hangat oleh para ahli. Pertanyaan perihal apakah sistem hukum yang digunakan Nazi sah atau tidak dan apakah hukum tersebut dapat digantikan muncul saat orang-orang berpengaruh Nazi mulai diadili.

Dua di antara ahli tersebut adalah Hans Kelsen dan Gustav Radbruch. Hans Kelsen yang berada di aliran positivisme hukum dan Gustav Radbruch yang berada di aliran hukum alam.[1]

Tulisan ini akan membahas singkat bagaimana pengaruh kekalahan Nazi Jerman bagi pemikiran kedua ahli tersebut dan secara singkat menunjukkan bagaimana perubahan pendapat hukum yang didasari oleh keadaan sosial-politik yang adalah bentuk adaptasi intelektual yang penting.

Hans Kelsen

Kelsen digolongkan sebagai penganut positivisme hukum sejak sebelum perang Jerman berakhir, dapat dilihat dari prakata bukunya “Teori Hukum Murni” edisi pertama pada tahun 1934, yang mengatakan (terjemahan penulis) “lebih dari dua puluh tahun yang lalu saya berupaya mengembangkan teori hukum murni, yaitu, teori hukum yang dimurnikan dari semua ideologi politik dan setiap unsur ilmu alam ...[2], pada bagian yang sama ia juga mengatakan (terjemahan penulis) “... Teori Murni (hukum), bagaimanapun juga, bukan sesuatu yang luar biasa baru, yang bertentangan dengan semua yang mendahuluinya. Ia dapat dipahami sebagai pengembangan lebih lanjut dari pendekatan-pendekatan yang muncul dalam ilmu hukum positivis abad kesembilan belas[3]. Selanjutnya dalam pembukaan bukunya ia mengatakan (terjemahan penulis) “Teori Hukum Murni adalah teori hukum positif ...[4]. Kelsen bahkan secara gamblang mengatakan (terjemahan penulis) “jika moralitas bertentangan dengan hukum positif, maka yuris, yang bertindak dengan ketentuan-ketentuan hukum positif sebagai norma yang sah, harus mengesampingkan moralitas[5]. Menurut Kelsen, validitas sistem hukum tidak bergantung pada standar politik dan kebaikan moral, namun pada prosedur pembentukannya[6].

Secara tidak langsung teori positivistiknya digunakan sebagai argumen bahwa hukum Nazi adalah sah pada masanya. Jika masyarakat mengakui kekuasaan absolut Führer sebagai norma dasar sistem hukum, maka dekrit dan undang-undang yang dikeluarkan rezim Nazi dianggap sah secara hukum dan harus dipatuhi walaupun hukum tersebut amoral.

Hans Kelsen yang adalah seorang ahli hukum dari Austria yang pada tahun 1919 menjadi pengajar hukum publik dan administrasi di Universitas Viena. Perannya yang terkenal adalah kontribusinya yang besar dalam pembentukan konstitusi Austria. Karena memiliki darah Yahudi, kebangkitan anti semitisme di Austria dan kebangkitan Nazi di Jerman memaksanya untuk berpindah ke Amerika Serikat.

Pasca kekalahan Nazi Jerman, Kelsen pada akhirnya menyandarkan pendapatnya pada argumen moral bahwa tindakan Nazi sudah dianggap kejahatan universal yang sudah jelas tidak bermoral dan bertentangan dengan norma hukum internasional[7] (meski belum ada kodifikasi formal) sehingga dapat diadili. Lebih lanjut Kelsen menjelaskan bahwa (terjemahan penulis):

Bahkan jika beberapa tindakan dianggap sebagai "tindakan negara" dan bukan tanggung jawab pidana individu, tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran terbuka terhadap prinsip-prinsip moralitas yang diakui secara umum oleh masyarakat beradab dan oleh karena itu, setidaknya, secara moral bersalah atau acuh tak acuh ketika tindakan itu dilakukan.[8]

Dengan demikian bahkan seorang penganut positivisme hukum ortodok seperti Kelsen, pada akhirnya menunjukkan keterbukaan terhadap dimensi moral hukum dikala dihadapkan pada suatu kejadian yang luar biasa. Walaupun secara keseluruhan, pendapat Kelsen tetap dalam kerangka positivisme hukum, dapat dikatakan ia melakukan penyesuaian praktis dengan memasukkan dimensi moral yang merupakan ciri hukum alam dalam teorinya.

Gustav Radbruch

Di Indonesia, banyak ahli serta praktisi hukum yang mengikuti ajaran Gustav Radbruch, pendapatnya pra dan pasca perang Jerman masih sering dibicarakan di Indonesia hingga saat. Konsep “methodical dualism” yang membedakan hukum yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen)[9] cukup dikenal di Indonesia, terlebih ajarannya tentang tujuan hukum untuk mencapai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.[10]

Tulisannya pada buku “Legal Philosophy” di tahun 1932 menjabarkan:

Hakim, yang bertugas menafsirkan dan melayani tatanan hukum positif, seharusnya hanya mengetahui doktrin hukum tentang validitas, yang menganggap makna validitas hukum, klaimnya atas validitas, setara dengan validitas sejati. Merupakan tugas profesional hakim untuk memastikan klaim validitas hukum, untuk mengorbankan rasa keadilannya sendiri demi perintah hukum yang otoritatif, untuk hanya menanyakan apa yang sah dan bukan apakah itu juga adil. Yang pasti, pertanyaan dapat diajukan apakah tugas hakim ini, sacrificium intellectus[11] ini, pengabdiannya tanpa memandang pendapatnya sendiri terhadap tatanan hukum, yang perubahannya di masa depan bahkan tidak dapat diantisipasi, secara moral dimungkinkan. Namun, betapapun tidak adilnya hukum dalam isinya, berdasarkan keberadaannya, telah terlihat, hukum tersebut memenuhi satu tujuan, yaitu kepastian hukum.[12]

Filosofi Radbruch adalah “relativitas’ yaitu nilai keadilan bersifat relatif, tidak ada suatu standar absolut, maka tugas hukum lebih kepada memastikan kepastian hukum daripada mengejar keadilan mutlak. Lebih lanjut ia mengutip Walter Rathenau (terjemahan penulis) “kita bukan komposer, tetapi musisi. Setiap orang dapat memainkan instrumennya masing-masing seindah mungkin, bahkan diizinkan untuk membuat variasi, hanya apabila kuncinya sejalan. Semua instrumen sama pentingnya, tidak perlu mengkhawatirkan harmoni, yang sudah diciptakan oleh orang lain[13].

Meskipun dalam karya-karyanya pra-perang Radbruch, sebagaimana kutipan di atas, menunjukkan elemen positivisme hukum dan bahkan mengkritik aliran hukum alam, ia juga menunjukkan upaya untuk mencari jalan tengah. Namun, secara umum, para ahli pada zamannya menggolongkannya sebagai penganut positivisme hukum sebelum berakhirnya perang Jerman[14].

Gustav Radbruch memiliki pandangan sosial demokrat sehingga dikucilkan saat pemerintahan Nazi berkuasa. Setelah runtuhnya Nazi, Radbruch menulis beberapa risalah singkat, salah satunya adalah “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946)”. Radbruch mengatakan (terjemahan penulis):

Positivisme, dengan prinsipnya bahwa 'hukum adalah hukum', senyatanya telah membuat profesi hukum Jerman tak berdaya melawan hukum yang sewenang-wenang dan kriminal. Terlebih lagi, positivisme sendiri sepenuhnya tidak mampu menetapkan keabsahan hukum. Ia mengklaim telah membuktikan keabsahan hukum hanya dengan menunjukkan bahwa undang-undang tersebut memiliki kekuatan yang cukup untuk berlaku. Namun, meskipun kekuatan memang dapat berfungsi sebagai dasar bagi 'keharusan' dalam pemaksaan, ia tidak pernah berfungsi sebagai dasar bagi 'keharusan' dalam kewajiban atau bagi keabsahan hukum. Kewajiban dan keabsahan hukum harus didasarkan, sebaliknya, pada nilai yang melekat dalam hukum tersebut. Yang pasti, satu nilai hadir bersama setiap undang-undang hukum positif tanpa mengacu pada isinya: Hukum apapun selalu lebih baik daripada tidak ada hukum sama sekali, karena setidaknya hukum tersebut menciptakan kepastian hukum. Namun, kepastian hukum bukanlah satu-satunya nilai yang harus diwujudkan oleh hukum, juga bukan nilai yang menentukan. Selain kepastian hukum, terdapat dua nilai lainnya: kemanfaatan dan keadilan.[15]

Lebih lanjut, Radbruch merumuskan yang kemudian dikenal sebagai “Formula Radbruch” sebagai berikut (terjemahan penulis):

Konflik antara keadilan dan kepastian hukum dapat diselesaikan dengan cara ini: Hukum positif, yang dijamin oleh legislasi dan kekuasaan, tetap diutamakan bahkan ketika isinya tidak adil dan gagal memberikan manfaat bagi rakyat, kecuali konflik antara undang-undang dan keadilan mencapai tingkat yang tak dapat ditoleransi sehingga undang-undang, sebagai 'hukum yang cacat', harus tunduk pada keadilan. Mustahil untuk menarik garis yang lebih tegas antara kasus-kasus ketidakberhukuman undang-undang dan undang-undang yang sah meskipun memiliki cacat. Namun, satu garis perbedaan dapat ditarik dengan sangat jelas: Jika bahkan tidak ada upaya untuk mencapai keadilan, jika kesetaraan, inti keadilan, sengaja dikhianati dalam penerbitan hukum positif, maka undang-undang tersebut bukan sekadar 'hukum yang cacat', melainkan sama sekali tidak memiliki hakikat hukum. Karena hukum, termasuk hukum positif, tidak dapat didefinisikan selain sebagai sistem dan lembaga yang makna hakikinya adalah untuk melayani keadilan.[16]

Formula tersebut merupakan kritik langsung terhadap aliran positivisme hukum. Lebih lanjut ia berpendapat apabila suatu hukum melanggar moral (disebut olehnya sebagai keadilan) maka hukum tersebut bukanlah hukum, ia mengatakan bahwa hukum Nazi adalah “statutory lawlessness” (terjemahan penulis: ketidakberhukuman undang-undang)[17] karena pada pokoknya mengkhianati keadilan.

Gustav Radbruch yang awalnya seorang penganut positivisme hukum, mengubah haluannya dan akhirnya melawan positivisme hukum.[18]

Penutup

Sebagai praktisi hukum terutama hakim, sering menjadi pertanyaan apakah konsistensi pendapat hukum itu penting? Dalam tataran praktis, apakah mengubah pendapat hukum merupakan hal yang tabu bagi praktisi hukum?

Dari kedua ahli tersebut dapat diambil hikmah bahwa manusia, seahli dan sepintar apapun, tidaklah sempurna. Juga dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh sosial-politik berpengaruh besar pada perkembangan teori hukum.

Hal tersebut bukan berarti pergeseran pendapat hukum adalah melulu hal yang baik, due diligence penting dilakukan agar dapat memahami secara utuh dan menyeluruh suatu hukum. Ada kalanya sesuatu terjadi di luar kehendak dan pemikiran awal kita, untuk itu perubahan pemikiran merupakan suatu yang wajar terjadi, adaptasi adalah istilah yang tepat.

Yang harus dihindari adalah memiliki pendapat hukum tanpa memberikan celah untuk kritik dan perbaikan serta tanpa sebelumnya ada usaha untuk belajar dan mengembangkan kemampuan hukum terlebih dahulu.

Sebagai penutup, penulis mengutip Friedrich Nietzsche: “ular yang tidak bisa mengelupas kulitnya akan binasa. Begitu pula pikiran yang dicegah mengubah pendapatnya; mereka berhenti menjadi pikiran[19].



[1] Secara singkat, prinsip utama dari aliran hukum alam adalah:

    Universalitas moral, seluruh masyarakat memiliki nilai moral yang sama

    Legitimasi hukum melalui moralitas

Sedangkan prinsip utama dari positivisme hukum adalah:

    Teori perintah, hukum adalah perintah dari yang berkuasa

    Tesis pemisahan, yaitu tidak harus ada hubungan antara hukum dan moral

[2] Hans Kelsen, Introduction to The Problems of Legal Theory, translation of the first edition of the Reine Rechtslehre (Pure Theory of Law), terjemahan Bonnie Litschewski Paulson & Stanley L. Paulson (Oxford: Oxford University Press, 2002), Hal. 1.

Patut dicatat bahwa sebelum perang Jerman selesai, pada tahun 1934, Hans Kelsen telah mengeluarkan Pure Theory of Law (Reine Rechtslehre), kemudian setelah perang Jerman selesai ia mengeluarkan revisinya pada tahun 1960.

[3] Ibid. Hal. 2.

[4] Ibid. Hal. 7.

[5] Ibid. Hal. 114.

[6] Herlinde Pauer-Studer, “Kelsen’s Legal Positivism and The Challenge of Nazi Law”, Yearbook Vienna Circle Institute 17, 2014. Hal. 223-240.

[7] Hans Kelsen, “The Rules Against Ex Post Facto Laws and The Prosecution of The Axis War Criminals”,1945. Hal. 4-5.

Dalam tulisan tersebut Kelsen juga menjelaskan pengecualian bagi asas non retroaktif dalam hukum dan bagaimana pengecualian tersebut dapat digunakan untuk menghukum tindakan yang sejak awal sudah dianggap amoral.

[8] Ibid. Hal. 8.

[9] Gustav Radbruch, Legal Philosophy, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin terjemahan Kurt Wilk (Cambridge: Harvard University Press, 1950). Hal. 53.

[10] Ibid. Hal. 107.

[11] Latin: pengorbanan intelektual.

[12] Ibid. Hal. 119.

[13] Ibid. Hal. 58.

[14] H. L. A. Hart, “Positivism and The Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review, Vol. 71, Februari 1958, Hal. 616.

[15] Gustav Radbruch, “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26 No. 1, 2006, Hal. 6.

Hal ini sebenarnya juga telah ditulisnya dalam “Five Minutes of Legal Philosophy “ tahun 1945.

[16] Ibid. Hal. 7.

Pandangan ini dianut di Indonesia dan masuk dalam rumusan Pasal 53 KUHP (UU No. 1 Tahun 2023).

[17] Ibid.

[18] H.L.A. Hart yang dikutip oleh David Dyzenhaus,”The Grudge Informer Case Revisited”, Vol. 83, Oktober 2008, Hal. 1006.

Dalam tulisan tersebut, HLA Hart menyebut perubahan pemikiran Radbruch menggunakan istilah religius “konversi” dan “pengakuan kesalahan”.

[19] Friedrich Nietzsche, Daybreak, Thoughts on the Prejudices of Morality, Edited by Maudemarie Clark & Brian Leiter dan diterjemahkan oleh R. J. Hollingdale (New York: Cambridge University Press, 2007). Hal. 228.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangka Waktu Praperadilan

Upaya Hukum Praperadilan

Panjar Biaya Perkara Perdata Habis (Hal Yang Dapat Terjadi)