Positivisme Hukum dan Hukum Alam
Pertempuran pemikiran hukum alam dan positivisme hukum telah berlangsung lama hingga mungkin tidak diingat lagi sudah berapa pengusungnya yang memberikan pemikiran untuk mempertahankan masing-masing kubu tersebut.
Namun, yang
mungkin tidak diingat oleh semua orang adalah istilah positivisme hukum justru
muncul dari pemikiran hukum alam sendiri. Istilah positivisme hukum muncul
dalam tulisan pengusung hukum alam, yaitu dalam tulisan St. Thomas Aquinas
(1225-1247) berjudul Summa Theologica yang membedakan hukum abadi yang
(berasal dari ilahi), hukum alam (yang diperoleh melalui akal pikiran), dan
hukum yang diadakan oleh manusia[1]. Hukum yang diadakan
manusia ini disebut lex humana atau lex posita, karena hukum
diadakan (posit) manusia, maka disebut positivisme hukum.
Surat Martin
Luther King Jr. yang terkenal dari penjara di Birmingham menuliskan (terjemahan
penulis) “hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali”[2], kalimat tersebut
menyimpulkan dengan tepat dan sederhana pemikiran dari St. Augustine dan juga
menyimpulkan secara sederhana kubu hukum alam. Hukum alam berpendapat bahwa
terdapat hubungan antara hukum dan moral, apabila suatu hukum tidak bermoral,
maka itu bukanlah hukum.
Namun pendapat
tersebut diuji, karena pada kenyataannya ada kondisi di mana terdapat suatu
hukum yang berlaku di masyarakat, namun hukum tersebut tidak bermoral. Seseorang
mungkin berpendapat bahwa ia tidak menyukai hukum tersebut, namun karena itu
adalah hukum, maka harus tetap dilaksanakan. Maka pendapat tersebut masuk ke
dalam kubu positivisme hukum, yaitu (secara sederhana) tidak diperlukan
hubungan antara hukum dengan moralitas.
Harus menjadi
perhatian di sini adalah bahwa aliran positivisme hukum bukannya tidak mengakui
bahwa moral itu ada, namun bagi mereka, tidak harus ada hubungan antara hukum
dengan moral. Jadi bagi kedua aliran tersebut, sama-sama mengakui adanya moral
dan hukum. Aliran positivisme hukum berpendapat bahwa bisa saja suatu aturan
(hukum) itu bermoral, namun keabsahannya tidak bergantung pada hal tersebut.
Berikut
perdebatan terkenal antara kubu hukum alam dengan kubu positivisme hukum.
Lon L. Fuller
dan H. L. A. Hart
Perdebatan antara
dua tokoh hukum tersebut adalah dalam kasus yang dikenal sebagai “the grudge
informer case”. Walaupun detail kasusnya telah terlupakan, namun perdebatan
antara ahli hukum Amerika (Lon L. Fuller) dengan ahli hukum Inggris (H. L. A. Hart)
ini masih sering dibicarakan di kalangan pembelajar teori hukum. Perdebatan
mereka adalah terhadap sebuah kasus setelah masa perang Jerman. Kasus ini
menarik karena menunjukkan bahwa doktrin filsafat hukum sangat berpengaruh bagi
kasus yang nyata berlangsung di pengadilan.
Menurut H. L. A. Hart, kasusnya sebagai berikut (terjemahan penulis):
Pada tahun 1949, pengadilan harus memutuskan kasus di mana seorang wanita
dituntut atas pelanggaran perampasan kemerdekaan suaminya secara ilegal, sebuah
kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Jerman tahun
1871 yang masih berlaku selama era Nazi.
Pada tahun 1944, ia melaporkan suaminya kepada pihak berwenang atas
pernyataan menghina yang dilontarkannya tentang Hitler saat cuti dari militer,
karena, tampaknya, ia ingin menyingkirkannya karena ia berselingkuh.
Berdasarkan undang-undang Nazi, "tampaknya," kata Hart,
menyampaikan pernyataan semacam itu ilegal, meskipun sang istri tidak memiliki
kewajiban hukum untuk melaporkannya. Sang suami dinyatakan bersalah dan
dijatuhi hukuman mati (meskipun tampaknya ia dikirim ke garis depan sebagai
pengganti eksekusi).[3]
Ketika pemerintah
pascaperang menuntut wanita tersebut (istrinya) atas tindakannya, pembelaan
wanita tersebut adalah bahwa ia telah bertindak sesuai dengan undang-undang
Nazi, dan karenanya tidak melakukan kejahatan apa pun. Namun, pengadilan
banding, terlepas dari kenyataan bahwa sang suami telah "dihukum oleh
pengadilan karena melanggar undang-undang", wanita tersebut (terjemahan
penulis):
... dinyatakan bersalah atas perampasan kebebasan yang melanggar hukum
karena ia tidak memiliki kewajiban untuk memberi tahu, tetapi ia melakukannya
semata-mata karena alasan pribadi dan harus menyadari bahwa melakukan hal
tersebut dalam keadaan "bertentangan dengan hati nurani yang sehat dan
rasa keadilan manusia yang bermartabat"[4].
Lon L. Fuller yang
mewakili hukum alam berpendapat bahwa hukum era Nazi sebenarnya adalah bukan
hukum karena hukum tersebut tidak bermoral. Fuller berpendapat bahwa sistem
hukum harus memiliki moralitas internal dengan 8 (delapan) prinsip:
1. Generalitas
aturan, setiap masalah tidak diputus secara ad hoc, namun ada aturan;
2. Publisitas,
aturan tersebut harus dipublikasikan, tersedia bagi para pihak yang dipengaruhi
oleh aturan tersebut;
3. Aturan
tidak berlaku surut;
4. Kejelasan,
aturan harus dapat dipahami oleh warga negara biasa maupun para ahli;
5. Tidak
ada kontradiksi aturan;
6. Kemungkinan
kepatuhan, artinya tidak meminta hal yang mustahil untuk dilakukan;
7. Konsistensi,
aturan tidak boleh terlalu sering berubah sehingga warga negara tidak bisa
berorientasi dengan hukum;
8. Kesesuaian
antara tindakan pejabat hukum dan peraturan.[5]
Fuller
berpendapat hukum Nazi tidak memenuhi prinsip-prinsip tersebut sehingga tidak
memiliki moralitas internal. Dengan demikian, wanita dalam kasus tersebut layak
untuk dihukum karena hukum yang wanita tersebut anut (saat melaporkan suaminya)
tidak sah dan dimanfaatkan oleh wanita tersebut.
Di sisi lain, walaupun
H. L. A. Hart berpendapat perbuatan wanita tersebut pantas dihukum atas
tindakan yang sangat tidak bermoral, namun Hart mengkritik pendapat yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku saat pemerintahan Nazi dikatakan tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak bermoral.
Hart berpendapat bahwa, sebagaimana penganut positivisme hukum pada
umumnya, hukum memperoleh keabsahannya dari fakta bahwa itu adalah perintah
yang dikeluarkan oleh penguasa, terlepas dari kualitas moralnya seperti dapat
dilihat dari kutipan berikut (terjemahan penulis):
“...kami menyelidiki, dalam bab terakhir, klaim yang dibuat dalam
kasus-kasus Jerman, bahwa yang dikatakan hukum yang sah harus ditahan dari
aturan-aturan tertentu karena kejahatan moralnya... Pada akhirnya kami menolak
klaim ini... aturan-aturan, betapapun jahatnya secara moral, (dapat menjadi)
hukum...”.[6]
Hart berpendapat
bahwa tindakan wanita tersebut sesuai dengan hukum saat itu, suaminya memang
menghina Hitler dan saat itu memang ada ancaman hukumannya, sehingga wanita
tersebut tidak melakukan sesuatu yang salah saat melaporkan suaminya tersebut.
Hart berpendapat bahwa pengadilan seharusnya mengambil keputusan antara:
·
Wanita tersebut tidak bersalah, atau
·
Kalaupun wanita itu harus dihukum, haruslah
dilakukan dengan membatalkan hukum yang berlaku saat masa Nazi dan menetapkan
undang-undang yang berlaku surut. Walaupun hal tersebut justru akan memberikan
preseden buruk ke depannya.[7]
Walaupun
demikian, menurut Hart, pilihan tersebut adalah memilih yang terbaik di antara
yang buruk, menghukum wanita tersebut atau melanggar prinsip hukum yang
dilarang berlaku surut. Menurut Hart, positivisme hukum adalah satu-satunya
teori hukum yang tidak mencoba menyembunyikan dilema moral ini.
Pada akhirnya,
walaupun berasal dari 2 (dua) aliran yang berbeda, para ahli tersebut setuju bahwa
keputusan akhir yang menghukum wanita tersebut adalah benar. Para ahli tersebut
hanya tidak setuju dengan penalaran yang berujung pada dihukumnya wanita
tersebut.
Hans Kelsen
dan Gustav Radbruch
Sebelum
perdebatan masyhur antara Lon L. Fuller dan H. L. A. Hart tersebut, terdapat
perdebatan yang tak kalah masyhurnya antara ahli hukum Hans Kelsen dengan
Gustav Radbruch walaupun perdebatan antara mereka sebenarnya lebih pada
konfrontasi antar filosofi hukum yang berseberangan.
Gustav Radbruch
memiliki pandangan sosial demokrat sehingga dikucilkan saat pemerintahan Nazi
berkuasa, sedangkan Hans Kelsen adalah seorang Yahudi, dengan demikian mereka
menderita di bahwa rezim Nazi.
Pada Tribunal
Militer Internasional di Nuremberg dan pengadilan dihadapkan pada kejahatan
yang dilakukan pemerintahan Nazi, hakim dan khalayak yang menyaksikannya
mencari pandangan hukum sebagai dasar mengadili para penjahat perang. Penelitian
dan tulisan Hans Kelsen selaku ahli hukum yang memiliki pandangan positivisme memiliki
peran besar dalam peradilan Nuremberg, baik sebelum, selama, maupun sesudahnya.[8]
Hans Kelsen, sebagai
penganut positivisme hukum, teorinya digunakan sebagai argumen bahwa hukum Nazi
adalah hukum yang sah dan berfungsi pada masanya. Namun demikian, Kelsen sendiri
menulis bahwa ia memiliki pandangan dan pendapat bahwa penjahat perang Nazi
harus dihukum meskipun mereka mendasarkan perbuatan mereka pada hukum Nazi yang
sah saat itu.
Namun demikian, Kelsen pada akhirnya menyandarkan pendapatnya pada argumen
moral bahwa penjahat perang dapat diadili, hal tersebut sebagaimana dalam
tulisannya “The Rules Againts Ex Post Facto Laws and The Prosecution of The
Axis War Criminals” pada tahun 1945 (terjemahan penulis):
Bahkan jika
beberapa tindakan dianggap sebagai "tindakan negara" dan bukan
tanggung jawab pidana individu, tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran
terbuka terhadap prinsip-prinsip moralitas yang diakui secara umum oleh
masyarakat beradab dan oleh karena itu, setidaknya, secara moral bersalah atau
acuh tak acuh ketika tindakan itu dilakukan.[9]
Hans Kelsen yang
merupakan seorang penganut positivisme hukum pada akhirnya mendalilkan
argumennya pada moralitas. Sebaliknya, Gustav Radbruch yang awalnya seorang
penganut positivisme hukum[10] justru berubah haluan
menjadi penganut hukum alam setelah mengalami kejamnya tirani Nazi.
Dalam tulisannya Gustav Radbruch mengatakan (terjemahan penulis):
Positivisme,
dengan prinsipnya bahwa 'hukum adalah hukum', senyatanya telah membuat profesi
hukum Jerman tak berdaya melawan hukum yang sewenang-wenang dan kriminal.
Terlebih lagi, positivisme sendiri sepenuhnya tidak mampu menetapkan keabsahan
hukum. Ia mengklaim telah membuktikan keabsahan hukum hanya dengan menunjukkan
bahwa undang-undang tersebut memiliki kekuatan yang cukup untuk berlaku. Namun,
meskipun kekuatan memang dapat berfungsi sebagai dasar bagi 'keharusan' dalam
pemaksaan, ia tidak pernah berfungsi sebagai dasar bagi 'keharusan' dalam
kewajiban atau bagi keabsahan hukum. Kewajiban dan keabsahan hukum harus
didasarkan, sebaliknya, pada nilai yang melekat dalam hukum tersebut. Yang
pasti, satu nilai hadir bersama setiap undang-undang hukum positif tanpa
mengacu pada isinya: Hukum apapun selalu lebih baik daripada tidak ada hukum
sama sekali, karena setidaknya hukum tersebut menciptakan kepastian hukum.
Namun, kepastian hukum bukanlah satu-satunya nilai yang harus diwujudkan oleh
hukum, juga bukan nilai yang menentukan. Selain kepastian hukum, terdapat dua
nilai lainnya: kemanfaatan dan keadilan.[11]
Lebih lanjut, Radbruch menyatakan (terjemahan penulis):
Konflik
antara keadilan dan kepastian hukum dapat diselesaikan dengan cara ini: Hukum
positif, yang dijamin oleh legislasi dan kekuasaan, tetap diutamakan bahkan
ketika isinya tidak adil dan gagal memberikan manfaat bagi rakyat, kecuali
konflik antara undang-undang dan keadilan mencapai tingkat yang tak dapat ditoleransi
sehingga undang-undang, sebagai 'hukum yang cacat', harus tunduk pada keadilan.
Mustahil untuk menarik garis yang lebih tegas antara kasus-kasus
ketidakberhukuman undang-undang dan undang-undang yang sah meskipun memiliki
cacat. Namun, satu garis perbedaan dapat ditarik dengan sangat jelas: Jika
bahkan tidak ada upaya untuk mencapai keadilan, jika kesetaraan, inti keadilan,
sengaja dikhianati dalam penerbitan hukum positif, maka undang-undang tersebut
bukan sekadar 'hukum yang cacat', melainkan sama sekali tidak memiliki hakikat hukum.
Karena hukum, termasuk hukum positif, tidak dapat didefinisikan selain sebagai sistem
dan lembaga yang makna hakikinya adalah untuk melayani keadilan.[12]
Radbruch
berpendapat bahwa hukum Nazi adalah “statutory lawlessness” (terjemahan
penulis: ketidakberhukuman undang-undang)[13] karena pada pokoknya
mengkhianati keadilan dan untuk melawannya dibutuhkan (teori dari) hukum alam.
Prinsip Hukum
Alam dan Positivisme Hukum
Secara singkat, prinsip utama dari aliran hukum alam adalah:
·
Universalitas moral, seluruh masyarakat memiliki
nilai moral yang sama
·
Legitimasi hukum melalui moralitas
Sedangkan prinsip utama dari positivisme hukum adalah:
·
Teori perintah, hukum adalah perintah dari yang
berkuasa
·
Tesis pemisahan, yaitu tidak harus ada hubungan
antara hukum dan moral
Penutup
Bahwa dari
seluruh perdebatan para ahli hukum di atas, setidaknya dapat ditarik hal yang dapat
dikritik dari masing-masing aliran tersebut.
1. Aliran
Hukum Alam
Hukum alam mendasarkan keabsahan
hukum pada moralitas, hukum yang tidak bermoral berarti bukan hukum. Namun
demikian moral bagi setiap orang dan kelompok bisa berbeda-beda. Moral tidak
bersifat universal.
Di suatu tempat, bisa saja aborsi
(menggugurkan kandungan) dianggap tidak bermoral, namun di tempat lain tidak. Di
suatu tempat dapat menganggap seorang LGBTQ tidak bermoral, namun di tempat
lain justru dilindungi hukum.
Pertanyaannya adalah, moral siapa
yang harus digunakan? Moral siapa yang dinilai lebih tinggi dan rendah? Apakah
moral yang dianut mayoritas harus dinilai lebih tinggi? Ataukah terdapat
kriteria lain untuk mengukur moralitas suatu hukum?
2. Aliran
Positivisme Hukum
Sebagaimana penjabaran pada perdebatan
para ahli tersebut, sulit untuk melepaskan moralitas dari hukum. Pendekatan ini
walaupun terstruktur namun terlalu formalistik.
Terhadap
kejahatan perang Nazi, Tribunal Nuremberg, bagaimanapun perdebatan hukum yang
terjadi di sekitarnya, hanya dapat dilakukan oleh pasukan sekutu yang
memperoleh kemenangan dengan jalan perang dan penaklukan. Tribunal yang dapat dikatakan melandaskan
keberadaannya pada nilai moral, dapat dikatakan, bahwa legitimasi hukum dari
Tribunal Nuremberg adalah karena sekutu selaku pemenang perang memiliki
kekuasaan, dengan kata lain bukankah hal tersebut justru melegitimasi “teori
perintah” dari positivisme hukum?
Di sisi lain,
ada masyarakat Jerman di bawah pemerintahan Nazi yang percaya mereka memiliki
tujuan moral untuk melindungi dan mengembangkan suku bangsa Arya (disebut
sebagai volksgemeinschaft), walaupun hal tersebut rasis namun itulah
nilai moral mereka (saat itu). Nilai moral yang rasis tersebut menghasilkan
hukum yang berlaku di negaranya dan ditaati warganya. Apabila moral tersebut (Nazi
Jerman) dapat dinilai salah oleh negara lain (negara sekutu), dalam kancah
internasional, negara mana yang memiliki nilai moral paling tinggi? Apakah
nilai moral lain dapat mendelegitimasi nilai moral yang menjadi hukum Nazi?
Penulis sendiri
berpendapat, yang hanya merangkum banyak pendapat ahli dengan penelitian yang
sangat sistematis, bahwa memang terdapat beberapa nilai moral yang bersifat
universal dan hukum Nazi telah benar-benar melanggar hal tersebut. Namun
perdebatan soal hukum biasanya berada di penumbra, di tepian peradaban manusia.
Aborsi, LGBTQ, artificial intelligence, hal-hal tersebut lebih mudah diatur
dengan pendekatan positivisme hukum dibanding pendekatan hukum alam.
Dalam kasus
Nazi, setidaknya penganut aliran hukum alam dan positivisme hukum sependapat
bahwa hukum Nazi dapat dibatalkan, namun akan sangat menarik melihat pendapat
para ahli hukum perihal hal-hal yang saat ini masih dalam penumbra hukum dan
bagaimana sejarah akan mencatat hal tersebut.
[1]
Thomas Aquinas. Summa Theologica, Treatise on Law, A Gateway Edition,
(Chicago: Henry Regnery Company, 1992). Question 93-95.
[2] Martin Luther King, Jr., Letter
from Birmingham Jail (1963).
[3] David Dyzenhaus,”The
Grudge Informer Case Revisited”, Vol. 83, Oktober 2008, Hal. 4-5.
[4]
H.L. A. Hart, “The Concept of Law, Third Edition”, Edited by Paul Craig
(Oxford: Oxford University Press, 2012). Hal. 304.
[5]
Lon L. Fuller, “Morality of Law, Revised Edition” (Virginia: Yale
University Press, 1964). Hal. 33-90.
[6]
Hart, Op. Cit., Hal. 207-208.
[7]
H. L. A. Hart, Positivism and The Separation of Law and Morals, Harvard Law
Review, Vol. 71, Februari 1958, Hal. 619-620.
[8]
Antara lain tulisannya dalam buku Pure Theory of Law (1934), Collective
and Individual Responsibility in International Law with Particular Regard to
Punishment of War Criminals (1944), & The Rule Against Ex Post Facto
and the Prosecution of the Axis War Criminals (1945).
[9]
Hans Kelsen, The Rules Againts Ex Post Facto Laws and The Prosecution of The
Axis War Criminals (1945). Hal. 8.
[10]
Dapat dilihat pada tulisannya, Gustav Radbruch dengan judul Legal Philosophy
(1932) dan dalam buku Five Minutes of Legal Philosophy (1945) serta
tercantum dalam tulisan H. L. A. Hart berjudul Positivism and The Separation
of Law and Morals, Harvard Law Review, Vol. 71, Februari 1958, Hal. 616.
[11]
Gustav Radbruch, “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law”, Oxford
Journal of Legal Studies, Vol. 26 No. 1, 2006, Hal. 6.
Ahli
hukum dan hakim-hakim di Indonesia banyak mengutip pendapat Gustav Radbruch
tersebut, yaitu tujuan hukum adalah: kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
[12]
Ibid. Hal. 7.
Ini juga
sering dikutip oleh ahli hukum dan hakim-hakim bahwa bila terjadi pertentangan
antara kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, maka diutamakan keadilan.
[13]
Ibid.
Komentar
Posting Komentar