Jangka Waktu Praperadilan
Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP menyebutkan
"pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh
hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya".[1] Dalam ketentuan tersebut
tidak diatur mengenai sejak kapan dihitung jangka waktu 7 (tujuh) hari
tersebut.
Dalam perkara pengujian KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar
NKRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi dalam register perkara nomor 78/PUU-XI/2013
telah diajukan permohonan antar lain (petitum keempat dan kelima permohonan):
- Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 selama tidak dimaknai "pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang";
- Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selama tidak dimaknai "pemeriksaan selambat-lambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang";[2].
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi
berpendapat:
“Bahwa mengenai batas waktu
pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh
hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 82
ayat (1) huruf c KUHAP, dan42 mengenai gugurnya permohonan praperadilan Pemohon
I karena pokok perkara yang didakwakan kepada Pemohon I mulai disidangkan di
Pengadilan Negeri Palembang, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan
pengaturan pemeriksaan permohonan praperadilan yang dilakukan secara cepat
sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011,
tanggal 1 Mei 2012, karena dalam hal-hal tertentu, penuntut umum juga harus
segera mengajukan pokok perkara ke pengadilan apabila terkait dengan masa
penahanan tersangka sudah akan berakhir. Lagipula, bagi tersangka masih
mempunyai hak untuk membela diri dan menyampaikan keberatannya terhadap hal
yang dipermasalahkan dalam praperadilan pada waktu pemeriksaan pokok
perkaranya;
Menimbang bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para
Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, tetapi merupakan persoalan
implementasi norma dalam praktik peradilan. Namun demikian, terlepas dari
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah perlu memberikan penilaian bahwa
seharusnya ketentuan tersebut tidak dijadikan celah oleh penyidik maupun
penuntut umum untuk menggugurkan praperadilan dengan cara segera melimpahkan
berkas perkara ke pengadilan negeri. Apalagi pelimpahan berkas perkara yang
tidak lengkap ke pengadilan negeri akan berakibat bahwa berkas perkara yang
diajukan ke pengadilan negeri merupakan berkas perkara yang asal jadi. Dalam
hal telah diajukan permohonan praperadilan, seyogianya semua pihak yang terkait
dalam praperadilan tersebut wajib menghormati persidangan praperadilan. Adalah
merupakan tindakan yang tidak terpuji apabila ada penyidik atau penuntut umum
dengan sengaja tidak menghadiri sidang praperadilan, seperti penuntut umum yang
dengan sengaja tidak menghadiri sidang praperadilan dan segera mengajukan pokok
perkaranya ke pengadilan negeri dengan maksud supaya permohonan praperadilannya
gugur. Oleh karenanya atasan dari pihak-pihak tersebut (kepolisian dan/atau
kejaksaan) dapat memberikan sanksi kepada aparat yang tidak menghormati
persidangan”.[3]
Penulis berpendapat bahwa pertimbangan Mahkamah Konstitusi
tersebut tidak menjawab pokok permohonan yang diajukan kepadanya, yaitu agar
diberikan ketentuan yang tegas dihitung sejak kapan jangka waktu 7 (tujuh) hari
dalam pemeriksaan praperadilan.
Dalam praktiknya, jangka waktu tersebut ditafsirkan
berbeda-beda oleh hakim pemeriksa perkara praperadilan, hal tersebut dapat
dilihat dari jadwal perkara pemeriksaan praperadilan berikut:
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan:
Salah satu jadwal sidang perkara
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan:
Dapat dilihat dari jadwal
persidangan pada pengadilan-pengadilan tersebut bahkan tidak ada perkara
praperadilan yang diperiksa dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak perkara
praperadilan dilimpah ke pengadilan dan terdapat penundaan karena termohon
tidak hadir. Hal seperti di atas dapat pula dilihat di jadwal persidangan
pengadilan-pengadilan lain yang dapat diakses semua pihak, jadwal di atas diambil hanya sebagai contoh karena dianggap cukup untuk menunjukkan maksud
penulis.
Dari hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata
terdapat kesenjangan antara das sollen dengan das sein. Harapan
Mahkamah Konstitusi “seharusnya ketentuan tersebut tidak dijadikan celah
oleh penyidik maupun penuntut umum untuk menggugurkan praperadilan dengan cara
segera melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri” ternyata dalam
praktik tidak terjadi.
Mahkamah Agung sebenarnya dapat memberikan kepastian
mengenai hal tersebut karena memiliki kewenangan mengatur hukum acara bila
terdapat kekosongan hukum atau ketidakjelasan hukumnya. Mahkamah Agung sendiri
telah banyak mengeluarkan aturan yang mengatur mengenai hukum acara antara lain
mengenai gugatan sederhana, sidang elektronik, pengajuan peninjauan kembali,
dan lain-lain, tetapi mengenai jangka waktu praperadilan tidak diatur secara
tegas oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pernah membahas hal tersebut dalam Rapat
Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari
Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia Tahun 2009 di Palembang, pada saat
itu terdapat permasalahan hukum yang diajukan oleh Pengadilan Tinggi Jambi
sebagai berikut:
“dalam pemeriksaan praperadilan Pasal 82 ayat 1 huruf c KUHAP dikatakan bahwa selambat-lambatnya 7 hari Hakim harus sudah menjatuhkan putusan, yang jadi permasalahan?
- Sejak kapan dihitung masa tenggang 7 hari itu?
- Apakah sejak perkara dilimpahkan atau sejak hari penetapan sidang?”
Pemecahan oleh Mahkamah Agung adalah
“Hakim menjatuhkan putusan masa tenggang waktu 7 (tujuh) hari terhitung
sejak sidang pertama”.[4]
Hal tersebut sayangnya tidak dikuatkan/diformalkan dalam sebuah peraturan oleh Mahkamah Agung (baik Surat Keputusan, Surat Edaran, maupun Peraturan Mahkamah Agung) sehingga pada praktiknya hakim masih banyak yang tidak mengikuti pemecahan dari Mahkamah Agung tersebut sehingga sampai saat ini terdapat pertanyaan mengenai hukum acara pidana yang jawabannya masih abu-abu yaitu sejak kapan jangka waktu 7 (tujuh) hari dalam pemeriksaan praperadilan dihitung?
- Sejak perkara didaftarkan di pengadilan negeri?
- Sejak hakim menetapkan hari sidang?
- Sejak para pihak dalam perkara praperadilan lengkap? bila iya, berapa kali pihak harus dipanggil? atau,
- Sejak sidang pertama dimulai tanpa melihat siapapun yang hadir?
Penulis berpendapat alangkah lebih baik apabila jangka waktu
7 (tujuh) hari tersebut tidak dibiarkan “abu-abu” demi kepentingan para pencari
keadilan, juga demi keamanan aparat penegak hukum (terutama hakim) agar tidak dianggap
melanggar kode etik. Semoga pada rancangan KUHAP yang baru perihal praperadilan
diatur lebih jelas karena selain masalah jangka waktu tersebut, masih ada
beberapa hal yang kurang diatur yang tidak mungkin dibahas dalam tulisan ini.
Di dalam praktek biasanya jangka waktu pemeriksaan perkara praperadilan adalah 7 (tujuh) hari terhitung sejak sidang pertama yang dihadiri para pihak, sebab pada hari tersebut umumnya setelah para pihak hadir semuanya maka hakim akan mulai memeriksa dengan mempersilahkan pemohon membacakan surat permohonannya.
BalasHapus